Romo
Jacobus Tarigan: Liturgi Bukan Entertainment
Liturgi
Bukan Entertainment
|
Hari ini saya melihat sebuah posting menarik dari page Katolik
Memes Indonesiayang menampilkan meme mengenai Liturgi disertai dengan
penjelasan yang bagus sekali dari Reverendus Dominus* Jacobus
Tarigan. Dalam artikel ini, RD Jacobus Tarigan menjelaskan bahwa liturgi tidak
boleh menjadi pentas kesenian atau acara yang meng-entertain umat.
Silahkan dibaca lebih lanjut di bawah ini. Penekanan dengan tulisan tebal oleh
saya sendiri:
Liturgi yang dirayakan dengan baik, indah, dan sungguh keluar
dari hati dapat menumbuhkan, memupuk, dan mengembangkan iman. Oleh karena itu,
tanda-tanda dalam liturgi hendaknya sederhana dan mudah dimengerti umat. Doa,
nyanyian-nyanyian, dan tanda-tanda/simbol hendaknya mampu mengkomunikasikan
iman. Kekuatan liturgi Katolik terletak justru dalam keterpaduan antara pesta,
masa liturgi, dan bacaan-bacaan yang telah ditetapkan. “Kekuatan itu
juga tergantung pada kesatuan artistik sebagai hasil pilihan yang cermat dan
tepat atas bahan-bahan liturgi yang ditawarkan, musik, dan kesenian yang
terkait” (Musik dalam Ibadat Katolik, Komisi Liturgi KWI, 2003, No
11).
Sayangnya, begitu antusiasnya beberapa petugas liturgi membuat
liturgi menyentuh umat, justru menurunkan mutu liturgi itu sendiri. Dengan
mengikuti mode dan selera umat, justru liturgi tidak mampu mengungkapkan iman
sejati. Yang terjadi adalah pentas kesenian dan bukan perayaan liturgi.
Nyanyian dan musik populer dimasukkan dalam perayaan liturgi.
Orang lupa bahwa musik populer lebih ditujukan untuk mengabdi kegemaran publik.
Demikian pula nilai artistiknya memang terasa kurang bermutu dibandingkan
dengan lagu Gregorian yang sudah mentradisi dalam sejarah Gereja. Lagu
Gregorian mengungkapkan isi kata bahasa Latin tanpa irama tetap (hitungan).
Irama Gregorian berpangkal dari aksen dan arti kata dengan irama bebas,
sehingga lagunya merupakan ungkapan syair. Dan ketahuilah, syair-syair
Gregorian pada umumnya diambil dari Kitab Suci. Sedangkan lagu-lagu populer
lebih menekankan birama dan hitungan yang cenderung mekanis.
Paus Benediktus XVI mengingatkan bahwa musik Gereja pada tempat
pertama, merupakan umat Allah yang bernyanyi menyatakan identitasnya. Tidak
mudah memang mencari keseimbangan musik Gereja di tengah tarikan antara
elitisme estetika seni dan arus budaya massa industrial. “Jika pop
diartikan sebagai suatu produk dari masyarakat massa, lewat reproduksi dan
standarisasi pengalaman sehingga menjadi bagian dari kultur massa, musik pop
yang dihasilkan tidak tumbuh dari pengalaman autentik dan pengalaman reflektif
mendalam atas kehidupan” (Krispurwana Cahyadi SJ, Benediktus XVI,
Kanisius: Yogyakarta, 2010, hal 176).
Jelaslah, liturgi adalah perayaan iman, bukan pementasan dan
bukan pula sekadar upacara. Maka, aneh, ketika persiapan persembahan,
diadakan tarian mengantar persembahan selama lebih kurang 30 menit. Sementara
Doa Syukur Agung hanya sekitar tujuh menit. Dengan tarian yang lama, maka Doa
Syukur Agung kehilangan makna puncaknya. Perhatian umat masih terpaku pada
penari-penari cantik dengan pakaian dan hiasan gemerlap, serta senyum yang
menawan. Aspek keheningan pun terasa menghilang. Liturgi dirayakan secara
dangkal.Liturgi tidak lagi merupakan pertumbuhan iman yang hidup, tetapi
merupakan produk kerja dari segelintir umat dan hobi dari beberapa pastor yang
hanya sekadar mencari popularitas.
Memang tidak mudah mencari keseimbangan antara konservatisme dan
kebaruan; antara karakter kebaktian liturgis dan tugas kateketis dan pastoral.
Namun, perlu ditegaskan lagi, liturgi bukanlah entertainment. Kalau
ingin mencoba sesuatu yang baru, maka laksanakan itu dalam kelompok terbatas
dan bukan pada Misa hari Minggu. Setiap eksperimen perlu dinilai secara kritis
oleh ahli liturgi dan direstui oleh pimpinan Gereja. Di lain pihak, umat pun
terus-menerus dididik agar semakin menghayati perayaan liturgi yang telah
berkembang dalam sejarah Gereja.Janganlah liturgi terjebak dalam upaya
modernisme dan inkulturasi yang dangkal. Dalam hal ini, penting diperhatikan
keheningan, keindahan, kedalaman, dan misteri. Bukan demi kepentingan estetika
seni, bukan demi pragmatisme pastoral, tetapi justru demi pujian terhadap Tuhan.
RD. Jacobus Tarigan
disalin dari http://www.hidupkatolik.com/
*. Reverendus Dominus artinya adalah "Tuan Yang
Terhormat", merupakan gelar resmi atau sapaan resmi Gereja Katolik untuk
imam-imam diosesan. Sedangkan gelar untuk imam-imam dari
ordo/tarekat/kongregasi religius adalah Reverendus Pater yang berarti
"Bapa Yang Terhormat".
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Misa itu harus bersifat Apostolik bukan entertain atau menuruti selera kita karena secara tidak sadar, dengan adanya tari-tarian dan berbagai macam pertunjukkan di gereja (diluar masa khusus) itu melukai hati Tuhan Yesus dan menghancurkan mutu dari misa tersebut, karena kekuatan Misa itu terletak di sifat Apostoliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar