Ekaristi Kaum Muda –
Marak Pelanggaran Liturgi
Beberapa waktu lalu saya membuat status dan
membagikannya di wall facebook pribadi saya mengenai sebuah pelanggaran liturgi
yang terjadi dalam Ekaristi Kaum Muda di sebuah paroki. Ekaristi Kaum Muda
sendiri adalah Perayaan Ekaristi yang kerap disesuaikan dengan selera kaum muda
sehingga seringkali terjadi pelanggaran liturgi. Berikut ini isi statusnya:
“Sekarang sejumlah orang Katolik berpikir bahwa dengan memasukkan
unsur-unsur seperti dangdut, band, lagu-lagu rohani populer, drama dan
sebagainya ke dalam Perayaan Ekaristi; mereka telah memuliakan Tuhan, telah
memuji Tuhan, dan telah menyenangkan hati Tuhan. Padahal, dengan demikian
mereka telah melukai kurban Kristus dan jantung Gereja. Saya orang muda dan
saya tidak suka dan tidak setuju Ekaristi diutak-atik seturut selera kaum
muda.”
Semua orang di status itu berkomentar menolak
masuknya unsur-unsur di atas karena tidak lagi sesuai dengan identitas Misa
Kudus Katolik. Salah seorang Imam Katolik yang concern dengan masalah
pelanggaran liturgi ini ikut memberikan komentar yang menarik (dengan huruf
kapital berarti penekanan).
TITIK TOLAK MASALAHNYA adalah PEMAHAMAN DAN
PENGHAYATAN. (1) Kalau Perayaan Ekaristi dipahami dan dihayati sebagai DOA
RESMI Gereja Katolik di mana kita menjadi anggotanya, maka kita seharusnya
mencari tahu dan melakukan mana yg menjadi jiwa dan rambu-rambu normatifnya.
(2) Kalau Perayaan dipahami dan dihayati sebagai
SEBUAH ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN untuk menampung selera dan aspirasi kita,
ya jadilah KREATIVITAS INDIVIDUAL atau KOMUNAL tanpa mengindahkan
lagi apa yang menjadi jiwa dari Ekaristi itu.
SEBAGAI PERBANDINGAN: saudara-saudari orang Muslim memahami dan
menghayati SHOLAT sebagai KEWAJIBAN SUCI yang harus dilakukan setepat mungkin
dan sebagai WUJUD SIKAP MENYEMBAH-HORMAT-TAAT KEPADA ALLAH, dan bukan sebagai
sebuah acara yang harus mereka ciptakan sendiri. Oleh karena itu orang muslim
tidak pernah berpikir bagaimana menciptakan sholat yang sesuai dengan
budaya/selera/apa yang sedang populer/ngetrend. Kebanyakan agama seperti itu.
Hanya orang-orang Katolik sendiri yang berpikir untuk mengubah doa resmi. Orang
Pentakostal memang tidak memiliki norma baku untuk peribadatan; jadi mereka
bebas.
Sekarang kita lebih
sering melihat Pemahaman dan Penghayatan nomor 2 yaitu Ekaristi dipandang
sebagai sebuah acara yang diciptakan untuk menampung selera dan aspirasi kita.
Sebagai seorang muda Katolik, saya melihat orang-orang muda Katolik sekarang
lebih menyukai hal-hal yang bebas, meriah dan fun dan akhirnya Misa Kudus menjadi objek untuk pemenuhan selera ini.
Hal ini terlihat dari brosur-brosur Ekaristi Kaum Muda yang selama ini saya
lihat menampilkan informasi bahwa akan ada tari-tarian modern dan pentakostal di
dalam Misa Kudus serta akan ada drama sebagai pengganti homili. Ketika membaca
brosur-brosur ini, saya dan juga sejumlah orang muda Katolik yang concern
dengan pelanggaran liturgi mempertanyakan: “Apakah Ekaristi Kaum Muda itu sungguh Misa yang katolik? Atau
sudah menjadi sebuah perayaan ibadah denominasional?”
Uskup Agung Rino
Fisichella berkata bahwa Gereja
harus mempelajari language of youth – bahasa kaum muda. “Seseorang tidak dapat berbicara kepada
orang-orang muda Kristus tanpa berbicara mengenai kebebasan seperti yang kaum
muda sekarang telah tempatkan dalam kultur mereka, tetapi kebebasan haruslah
selalu dalam hubungan dengan kebenaran karena kebenaranlah yang menghasilkan
kebebasan.” Memang benar bahwa
kebebasan menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur orang muda Katolik
sekarang ini dan Gereja harus mempelajari ini. Tapi orang muda Katolik sendiri
harus tahu bahwa tidak pernah ada kebebasan yang mutlak. Kebebasan itu pasti
ada batasnya, termasuk dalam Misa Kudus. Orang Muda Katolik tidak bisa
seenaknya memasukkan unsur-unsur tertentu yang tidak sesuai dengan jiwa
Ekaristi ke dalam Misa Kudus. Kaum Muda Katolik harus mengetahui bahwa Ekaristi
memiliki norma-norma resmi yang harus ditaati, yang harus dipegang setia dan
tidak boleh dilanggar. Pertanyaannya, apakah kaum muda Katolik mau mempelajari
hal ini juga? Kita kaum muda Katolik
hendaknya jangan hanya menuntut “Gereja harus mempelajari kami, mengenal kami
dan menyesuaikan dengan kami.”, tapi juga mempertanyakan kepada diri kita
sendiri, “Apakah
saya sudah mempelajari, mengenal dan taat kepada Gereja dan ajarannya?”.
Lalu, muncul pertanyaan
dari saya: Bila mengetahui bahwa Misa Kudus tidak bisa dimasukkan unsur-unsur
seperti tari-tarian, drama, aksi teatrikal, band dan lain-lain, mengapa tidak
mengadakan acara sesudah Misa untuk mengakomodir unsur-unsur tersebut dan
membiarkan Misa tetap apa adanya sesuai norma resmi yang berlaku? Bukankah
lebih tepat bila acara itu dilakukan sesudah Misa Kudus? Melihat hal ini,
semakin nyatalah Pemahaman dan Penghayatan Nomor 2 di atas: “Misa adalah SEBUAH ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN
untuk menampung selera dan aspirasi kita.”
Pasti ada juga yang
memberikan tanggapan: “Romo atau Uskup memperbolehkan unsur-unsur tari-tarian,
drama, dll itu ada di Ekaristi Kaum Muda. Jangan ya sah-sah saja dong
dimasukkan.” Memang banyak yang berlindung di balik jubah imam dan uskup atas
pelanggaran liturgi yang terjadi termasuk pelanggaran liturgi oleh Ekaristi
Kaum Muda. Tetapi, saya melihat selama ini unsur-unsur itu diajukan terlebih dahulu oleh petugas yang menyusun liturgi EKM itu, dan
atas pertimbangan atau bisa jadi desakan tertentu, kaum tertahbis
memperbolehkannya. Saya pikir, seandainya unsur-unsur ini tidak diajukan, maka
tidak akan kita jumpai unsur-unsur tersebut dalam Perayaan Ekaristi dan dengan
demikian tidak terjadi pelanggaran liturgi. Motivasi pengajuan unsur-unsur ini
dapat kita simpulkan yaitu “Misa adalah SEBUAH
ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN untuk menampung selera dan aspirasi kita.”
Haruskah kita marah
kepada imam atau uskup yang memperbolehkan tari-tarian, drama, band dll dalam
Ekaristi Kaum Muda? Lebih tepatnya, kita menyayangkan hal ini terjadi. Kaum
tertahbis yang harusnya bisa menjadi penjaga liturgi malah membiarkan “musuh”
masuk ke dalam. Seharusnya imam dan uskup harus lebih tegas dan peduli terhadap
liturgi, jangan lupakan bahwa Krisis Liturgi adalah
Krisis Utama Gereja masa sekarang. Kita
bersyukur bahwa Paus Benediktus XVI peduli pada liturgi Gereja. Imam dan uskup
juga harus memulai katekisasi mengenai liturgi di paroki masing-masing terutama
kepada kaum muda sehingga kaum muda lebih tahu mengenai liturgi dan menyadari
bahwa liturgi adalah doa resmi dan tindakan Gereja yang tidak bisa seenaknya
diutak-atik seturut selera kaum muda. Homili Nuncio Vatikan
untuk Indonesia, Uskup Agung Filipazzi,
menarik untuk dibaca ulang. Salah kutipan penting: “Secara khusus, para uskup dan imam, yakni para
pelayan liturgi suci, bukan pemilik liturgi, maka mereka tidak boleh
mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri liturgi di setiap
gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan liturgi dalam kesatuan
dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh
Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus
Petrus dan dipimpin oleh para uskup.”
Akhirnya, baik kaum tertahbis (uskup dan imam) maupun kaum
muda Katolik haruslah menjalankan Pertobatan Liturgis, sebuah pertobatan yang
dimulai dari ketaatan dan penyangkalan terhadap selera pribadi. Pertobatan Liturgis harus dimulai dari sekarang,
dimulai dari setiap pribadi Katolik. Kardinal Canizares mengatakan:“Berpartisipasi dalam
Ekaristi dapat membuat iman kita lemah atau hilang jika kita tidak masuk ke
dalamnya dengan benar” dan jika liturgi tidak dirayakan menurut norma-norma
gereja.” Tentu
kita tidak ingin bila Misa Kudus yang harusnya meneguhkan iman kita malah
membuat lemah iman kita dikarenakan Misa diadakan untuk memenuhi selera kita
sendiri. Mohonkanlah rahmat dari Allah agar kita semua bisa melaksanakan
pertobatan liturgis ini demi Bunda Gereja yang kudus, Gereja Katolik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar