Bahasa Cinta

Kamis, 07 Maret 2013

Ekaristi Kaum Muda


Ekaristi Kaum Muda – Marak Pelanggaran Liturgi


Ekaristi Kaum Muda
Beberapa waktu lalu saya membuat status dan membagikannya di wall facebook pribadi saya mengenai sebuah pelanggaran liturgi yang terjadi dalam Ekaristi Kaum Muda di sebuah paroki. Ekaristi Kaum Muda sendiri adalah Perayaan Ekaristi yang kerap disesuaikan dengan selera kaum muda sehingga seringkali terjadi pelanggaran liturgi. Berikut ini isi statusnya:


Sekarang sejumlah orang Katolik berpikir bahwa dengan memasukkan unsur-unsur seperti dangdut, band, lagu-lagu rohani populer, drama dan sebagainya ke dalam Perayaan Ekaristi; mereka telah memuliakan Tuhan, telah memuji Tuhan, dan telah menyenangkan hati Tuhan. Padahal, dengan demikian mereka telah melukai kurban Kristus dan jantung Gereja. Saya orang muda dan saya tidak suka dan tidak setuju Ekaristi diutak-atik seturut selera kaum muda.”
Semua orang di status itu berkomentar menolak masuknya unsur-unsur di atas karena tidak lagi sesuai dengan identitas Misa Kudus Katolik. Salah seorang Imam Katolik yang concern dengan masalah pelanggaran liturgi ini ikut memberikan komentar yang menarik (dengan huruf kapital berarti penekanan).
TITIK TOLAK MASALAHNYA adalah PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN. (1) Kalau Perayaan Ekaristi dipahami dan dihayati sebagai DOA RESMI Gereja Katolik di mana kita menjadi anggotanya, maka kita seharusnya mencari tahu dan melakukan mana yg menjadi jiwa dan rambu-rambu normatifnya.
(2) Kalau Perayaan dipahami dan dihayati sebagai SEBUAH ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN untuk menampung selera dan aspirasi kita, ya jadilah KREATIVITAS  INDIVIDUAL atau KOMUNAL tanpa mengindahkan lagi apa yang menjadi jiwa dari Ekaristi itu.

SEBAGAI PERBANDINGAN: saudara-saudari orang Muslim memahami dan menghayati SHOLAT sebagai KEWAJIBAN SUCI yang harus dilakukan setepat mungkin dan sebagai WUJUD SIKAP MENYEMBAH-HORMAT-TAAT KEPADA ALLAH, dan bukan sebagai sebuah acara yang harus mereka ciptakan sendiri. Oleh karena itu orang muslim tidak pernah berpikir bagaimana menciptakan sholat yang sesuai dengan budaya/selera/apa yang sedang populer/ngetrend. Kebanyakan agama seperti itu. Hanya orang-orang Katolik sendiri yang berpikir untuk mengubah doa resmi. Orang Pentakostal memang tidak memiliki norma baku untuk peribadatan; jadi mereka bebas.
Sekarang kita lebih sering melihat Pemahaman dan Penghayatan nomor 2 yaitu Ekaristi dipandang sebagai sebuah acara yang diciptakan untuk menampung selera dan aspirasi kita. Sebagai seorang muda Katolik, saya melihat orang-orang muda Katolik sekarang lebih menyukai hal-hal yang bebas, meriah dan fun dan akhirnya Misa Kudus menjadi objek untuk pemenuhan selera ini. Hal ini terlihat dari brosur-brosur Ekaristi Kaum Muda yang selama ini saya lihat menampilkan informasi bahwa akan ada tari-tarian modern dan pentakostal di dalam Misa Kudus serta akan ada drama sebagai pengganti homili. Ketika membaca brosur-brosur ini, saya dan juga sejumlah orang muda Katolik yang concern dengan pelanggaran liturgi mempertanyakan: “Apakah Ekaristi Kaum Muda itu sungguh Misa yang katolik? Atau sudah menjadi sebuah perayaan ibadah denominasional?”

Uskup Agung Rino Fisichella berkata bahwa Gereja harus mempelajari language of youth – bahasa kaum muda. “Seseorang tidak dapat berbicara kepada orang-orang muda Kristus tanpa berbicara mengenai kebebasan seperti yang kaum muda sekarang telah tempatkan dalam kultur mereka, tetapi kebebasan haruslah selalu dalam hubungan dengan kebenaran karena kebenaranlah yang menghasilkan kebebasan.” Memang benar bahwa kebebasan menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur orang muda Katolik sekarang ini dan Gereja harus mempelajari ini. Tapi orang muda Katolik sendiri harus tahu bahwa tidak pernah ada kebebasan yang mutlak. Kebebasan itu pasti ada batasnya, termasuk dalam Misa Kudus. Orang Muda Katolik tidak bisa seenaknya memasukkan unsur-unsur tertentu yang tidak sesuai dengan jiwa Ekaristi ke dalam Misa Kudus. Kaum Muda Katolik harus mengetahui bahwa Ekaristi memiliki norma-norma resmi yang harus ditaati, yang harus dipegang setia dan tidak boleh dilanggar. Pertanyaannya, apakah kaum muda Katolik mau mempelajari hal ini juga? Kita kaum muda Katolik hendaknya jangan hanya menuntut “Gereja harus mempelajari kami, mengenal kami dan menyesuaikan dengan kami.”, tapi juga mempertanyakan kepada diri kita sendiri, “Apakah saya sudah mempelajari, mengenal dan taat kepada Gereja dan ajarannya?”.

Lalu, muncul pertanyaan dari saya: Bila mengetahui bahwa Misa Kudus tidak bisa dimasukkan unsur-unsur seperti tari-tarian, drama, aksi teatrikal, band dan lain-lain, mengapa tidak mengadakan acara sesudah Misa untuk mengakomodir unsur-unsur tersebut dan membiarkan Misa tetap apa adanya sesuai norma resmi yang berlaku? Bukankah lebih tepat bila acara itu dilakukan sesudah Misa Kudus? Melihat hal ini, semakin nyatalah Pemahaman dan Penghayatan Nomor 2 di atas:  “Misa adalah SEBUAH ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN untuk menampung selera dan aspirasi kita.”

Pasti ada juga yang memberikan tanggapan: “Romo atau Uskup memperbolehkan unsur-unsur tari-tarian, drama, dll itu ada di Ekaristi Kaum Muda. Jangan ya sah-sah saja dong dimasukkan.” Memang banyak yang berlindung di balik jubah imam dan uskup atas pelanggaran liturgi yang terjadi termasuk pelanggaran liturgi oleh Ekaristi Kaum Muda. Tetapi, saya melihat selama ini unsur-unsur itu diajukan terlebih dahulu oleh petugas yang menyusun liturgi EKM itu, dan atas pertimbangan atau bisa jadi desakan tertentu, kaum tertahbis memperbolehkannya. Saya pikir, seandainya unsur-unsur ini tidak diajukan, maka tidak akan kita jumpai unsur-unsur tersebut dalam Perayaan Ekaristi dan dengan demikian tidak terjadi pelanggaran liturgi. Motivasi pengajuan unsur-unsur ini dapat kita simpulkan yaitu “Misa adalah SEBUAH ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN untuk menampung selera dan aspirasi kita.”

Haruskah kita marah kepada imam atau uskup yang memperbolehkan tari-tarian, drama, band dll dalam Ekaristi Kaum Muda? Lebih tepatnya, kita menyayangkan hal ini terjadi. Kaum tertahbis yang harusnya bisa menjadi penjaga liturgi malah membiarkan “musuh” masuk ke dalam. Seharusnya imam dan uskup harus lebih tegas dan peduli terhadap liturgi, jangan lupakan bahwa Krisis Liturgi adalah Krisis Utama Gereja masa sekarang. Kita bersyukur bahwa Paus Benediktus XVI peduli pada liturgi Gereja. Imam dan uskup juga harus memulai katekisasi mengenai liturgi di paroki masing-masing terutama kepada kaum muda sehingga kaum muda lebih tahu mengenai liturgi dan menyadari bahwa liturgi adalah doa resmi dan tindakan Gereja yang tidak bisa seenaknya diutak-atik seturut selera kaum muda. Homili Nuncio Vatikan untuk Indonesia, Uskup Agung Filipazzi, menarik untuk dibaca ulang. Salah kutipan penting: “Secara khusus, para uskup dan imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukan pemilik liturgi, maka mereka tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri liturgi di setiap gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para uskup.”

Akhirnya, baik kaum tertahbis (uskup dan imam) maupun kaum muda Katolik haruslah menjalankan Pertobatan Liturgis, sebuah pertobatan yang dimulai dari ketaatan dan penyangkalan terhadap selera pribadi. Pertobatan Liturgis harus dimulai dari sekarang, dimulai dari setiap pribadi Katolik.  Kardinal Canizares mengatakan:“Berpartisipasi dalam Ekaristi dapat membuat iman kita lemah atau hilang jika kita tidak masuk ke dalamnya dengan benar” dan jika liturgi tidak dirayakan menurut norma-norma gereja.” Tentu kita tidak ingin bila Misa Kudus yang harusnya meneguhkan iman kita malah membuat lemah iman kita dikarenakan Misa diadakan untuk memenuhi selera kita sendiri. Mohonkanlah rahmat dari Allah agar kita semua bisa melaksanakan pertobatan liturgis ini demi Bunda Gereja yang kudus, Gereja Katolik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar