Bahasa Cinta

Jumat, 24 Januari 2014

Makna Kehenigan dan Kesunyian



Misteri Keheningan dan Kesunyian

“Oleh Sebab itu sesungguhnya, Aku ini akan membujuk dia, dan membawa dia ke padang gurun, dan berbicara penuh cinta kepadanya” (Hos. 2:13)

1.     Misteri Keheningan
Komunitas para pertapa hidup dalam keheningan dan menimba kekuatannya dalam keheningan tersebut. Juga di situ ia menemukan perkembangannya yang utuh. Keheningan merupakan salah satu unsur kesunyian dari suatu hidup yang tersembunyi dalam Allah yang semuanya merupakan unsur-unsur hidup bertapa. Ini tidak hanya urusan pribadi, melainkan suatu karya bersama yang akan mempunyai dampak terhadap hidup doa pertapaan serta pengaruhnya dalam Gereja. Suatu pertapaan yang kehilangan semangat doanya, ibarat sebuah tungku perapian yang telah padam. Karenanya Putri Karmel dan CSE dipanggil Tuhan, agar rumah pertapaan mereka benar-benar menjadi tempat yang hening di-mana orang lebih mudah memusatkan perhatian dan mendengarkan suara Tuhan.
Keheningan yang dimaksud di sini tidak sama dengan tidak adanya kebisingan dan suara obrolan kosong. Keheningan sejati merupakan suatu kehadiran pada Allah, suatu cara berada dan tetap tinggal dalam doa. Ini merupakan suatu sikap menanti seorang murid yang berdiam diri untuk dapat mendengarkan suara Sang Guru, yang akan terdengar dengan lebik baik dalam lubuk keheningan.
Allah hadir dalam keheningan. Ia adalah Dia yang berdiam diri, yang berada jauh mengatasi segala kata, dan yang tidak dapat diungkapkan oleh kata mana pun juga. Karenanya kita tidak dapat memasuki persekutuan dengan Dia jika kita tidak meninggalkan segala sesuatu yang dangkal, jika kita tidak menerobos masuk ke dalam daerah hening yang dalam ini, di mana Tuhan sedang menantikan kita.
Supaya bisa mencapai lubuk keheningan ini, kita harus menjaga keheningan bibir kita, tetapi lebih-lebih lagi keheningan ingatan, imajinasi, rencana-rencana, keinginan-keinginan serta segala bentuk hawa nafsu. Apa gunanya menutup mulut, bila hati tetap menjadi tempat lalu lalang, tempat keributan, tempat berkhayal, menjadi jalan di mana benih yang jatuh segera terinjak-injak orang. Hanya keheningan saja yang dapat menciptakan tanah yang gembur dan subur, di mana benih dapat tumbuh dengan baik.
Bila kemudian sabda Allah memperdengarkan diri dalam hati yang telah siap secara demikian itu, keheningan menjadi ungkapan sikap keterbukaan, peresapan sabda serta sembah sujud. Maka sabda Allah disimpan dalam lubuk keheningan yang terdalam, kecuali jika rahmat yang diterimanya tidak membuatnya meluap dalam sukacita dan pujian. Hidup bertapa secara hakiki merupakan suatu sikap keheningan dan penyembahan tersembunyi yang memancarkan pujian.
Karena orang hidup dalam hadirat Allah, dalam kerinduan akan sabda-Nya, karena orang telah tertangkap oleh Dia, maka secara spontan orang memelihara silentium atau keheningan di antara mereka. Meskipun anggota pertapaan itu banyak jumlahnya keheningan memungkinkan orang untuk masuk ke dalam dirinya sendiri untuk berdoa kepada Allah dalam ketersembunyian. Keheningan juga memungkinkan orang hidup sunyi di tengah-tengah para saudara. Dalam arti tertentu keheningan memisahkan orang yang satu dengan yang lain. Hal itu mewajibkan orang untuk melepaskan diri dari afeksi-afeksi kodrati yang menjadi penghalang, kehadiran yang menjadikannya kurang terbuka untuk mendengarkan suara Roh yang ada dalam dirinya.
Akan tetapi, harus segera dikatakan pula bahwa keheningan justru mempersatukan para saudara, karena hal itu memungkinkan mereka saling mencintai dengan cara yang lebih mendalam dan lebih tulus, serta lebih murni pula. Keheningan merupakan tempat tersembunyi, di mana mereka semua berkumpul di hadapan Allah dan di mana mereka dalam Dia melihat kehadiran seluruh ciptaan. Jadi keheningan itu tidak hanya menjadikan orang hadir pada Allah, tetapi juga hadir pada semua saudara yang berjalan di hadapan-Nya. Karena itu keheningan merupakan sikap mendengarkan dunia, sikap terbuka, dan penerimaan.
Suasana hening ini merupakan sesuatu yang hakiki untuk hidup bertapa dan kontemplatif, sehingga para suster Putri Karmel dan para frater CSE berusaha sungguh-sungguh untuk mempertahankannya dalam hidup mereka. Karena itu pula mereka memilih tempat-tempat yang sunyi sebagai tempat untuk pertapaan mereka.
Akan tetapi mereka merasa pula, bahwa dewasa ini banyak orang lain yang juga merindukan perjumpaan dengan Tuhan di tempat sunyi, namun sering sukar menemukan tempat seperti itu. Karenanya Putri Karmel dan CSE juga mau menjadikan rumah mereka oasis-oasis bagi manusia moderen yang kehausan serta mencari Allah, baik rohaniwan, rohaniwati, maupun awam. Mereka tidak hanya mau menyediakan tempat, tetapi mereka juga siap melayani serta membimbing orang dalam lorong-lorong doa yang telah mereka jalani sendiri menuju ke perjumpaan mesra dengan Allah yang hidup.

2.     Daya tarik kesunyian
Bagi orang yang hatinya telah tersentuh oleh cinta Allah keheningan saja dirasakan belum cukup. Mereka masih merindukan kesunyian untuk dapat berada sendirian dengan Sang Kekasih ilahi yang telah mempesona jiwanya. Maka tidaklah mengherankan, seperti yang sudah kita lihat pula, bahwa sejak semula dan hingga hari ini, masih banyak orang yang merasa ditarik oleh Roh sendiri ke dalam kesunyian yang semakin besar, supaya secara total dapat hidup melulu bagi Dia yang dirindukan jiwanya. Unsur kesunyian ini merupakan suatu unsur hakiki pula dalam kehidupan para pertapa Karmel dahulu. Ungkapan-ungkapan indah tentang arti keheningan dapat kita jumpai dalam tulisan Nikolas dari Perancis, salah seorang jenderal Karmel yang pernah tinggal dalam kesunyian Gunung Karmel dan yang dalam kesunyian itu sendiri mengalami rahasia cinta Allah yang mendalam. Ungkapan itu kita jumpai dalam suratnya yang berjudul "Panah Berapi", yang kami kutip di bawah ini:        
"Bukankah Tuhan Penyelamat kita telah memberikan rahmat khusus kepada kita dengan membawa kita ke dalam kesunyian, di mana Ia berbicara secara mesra kepada hati kita? Padahal Ia tidak menyatakan diri kepada sahabat-sahabat-Nya di muka umum, di jalan-jalan dan dalam kebisingan, tetapi dalam keintiman, melalui rahmat suka-cita rohani, serta untuk menyatakan kepada mereka misteri-misteri-Nya yang tersembunyi."
"Bukankah Roh Kudus, yang tahu apa yang dibutuhkan masing-masing telah mengilhami Regula kita, yang menentukan, supaya masing-masing memiliki pondok yang terpisah? Bukan pondok yang berdampingan, melainkan pondok-pondok yang terpisah yang satu dari yang lain, supaya Sang Mempelai Surgawi bersama dengan mempelai-Nya, yaitu jiwa yang kontemplatif, dapat berbicara penuh damai dan kemesraan?"
"Kita telah bersukacita boleh menerima dalam pondok kita, bimbingan penuh cahaya dari Roh Kudus. Suatu harta tak ternilai telah dinyatakan kepada kita dalam pesona kontemplasi sedemikian rupa, sehingga jiwa kita, setelah dilepaskan dari perkara-perkara duniawi yang fana, menyerahkan diri seutuhnya kepada kobaran dorongan kontemplatif tersebut."
"Bagaimana kita dapat berbicara secara layak tentang pondok-pondok kita? Saya kehabisan kata-kata untuk melambungkan pujian baginya: saya tidak melihat lagi batas-batas antara pondok itu dan surga. Bukankah mudah sekali orang pergi dari yang satu kepada yang lain?"
Memang, Padang Gurun, lambang kesunyian, merupakan tempat yang membahagiakan bagi orang yang terpanggil. Di dalam kesunyian itulah Tuhan telah menyatakan diri kepada banyak sahabat-Nya, karena kesunyian memang sangat cocok dan istimewa untuk perjumpaan ilahi. Dalam kesunyian itulah Tuhan telah menyatakan diri dalam seluruh kuasa dan kemuliaan-Nya.
Dalam kesunyian Gunung Sinai Allah menyatakan diri kepada Musa. Di situ pula Ia mengadakan perjanjian dengan umat-Nya. Selama 40 tahun ia membentuk mereka itu dalam kesunyian sambil berjalan bersama mereka dalam tiang awan dan api, memberi makan mereka dengan manna surgawi serta memberi minum dari batu karang.
Dalam kesunyian dan keheningan Gunung Horeblah Allah menyatakan kehadiran-Nya yang mesra kepada Nabi Elia serta berbicara secara mesra dengan dia. Dalam kesunyian Padang Gurunlah Santo Yohanes Pembaptis menerima misi dan mempersiapkan kedatangan Tuhan Yesus. Ke dalam kesunyian Padang Gurun pula Roh Kudus membawa Yesus setelah pembaptisan di sungai Yordan, untuk menerima dari Bapa-Nya tugas pewartaan-Nya. Dan ke situ pula Ia sering kembali semasa karya pewartaan-Nya. Di dalam kesunyian Gunung Tabor pulalah Ia telah menyatakan diri dalam segala kemuliaan-Nya kepada tiga orang murid-Nya.
Dalam masa-masa sesudah Pentakosta, Allah tiada henti-hentinya menyatakan diri di Padang Gurun. Demikian pula Roh Kudus tiada henti-hentinya membawa para murid Yesus ke Padang Gurun yang terberkati itu.
Beberapa orang di antara mereka datang ke situ untuk waktu tertentu saja demi memperdalam imannya, memperdalam hubungannya dengan Allah, untuk mempersiapkan diri bagi suatu tugas kerasulan tertentu, atau suatu tanggung jawab tertentu dalam Gereja. Dalam menjalankan tugasnya selanjutnya, mereka itu sewaktu-waktu merasa perlu untuk kembali lagi ke dalam kesunyian untuk menimba kekuatan baru. Yesus sendiri juga seringkali kembali ke situ, dan seringkali bahkan tinggal semalam suntuk di situ untuk berdoa kepada Bapa. Seorang murid tidak lebih besar dari Gurunya.
Akan tetapi, ada murid-murid Tuhan yang lain yang dipanggil untuk tinggal selama hidupnya dalam Padang Gurun itu sambil menantikan kedatangan-Nya kembali. Jumlah mereka itu banyak sekali dalam abad-abad pertama dan sepanjang sejarah Gereja mereka tidak pernah absen. Juga pada zaman kita ini Roh masih tetap menarik orang-orang tertentu ke dalam kesunyian Padang Gurun.
Demikian pula kesunyian Karmel sampai dewasa ini tetap mempunyai daya tariknya sendiri, dan menggetarkan hati mereka yang mendengarkan panggilan Roh. Bahkan dewasa ini pun dibuka kemungkinan untuk kesunyian total sebagai eremit bagi mereka yang sungguh-sungguh terpanggil. Mereka itu tidak lagi hidup bersama dengan saudara yang lain, melainkan seorang diri dalam kesunyian total. Namun itu merupakan suatu panggilan yang sungguh-sungguh amat khusus, yang membutuhkan kematangan insani dan rohani yang besar supaya dapat menghasilkan buah yang melimpah. Kalau tidak, ia malahan akan gagal. Bagi kebanyakan orang, kesunyian itu masih dihayatinya bersama saudara-saudari yang lain dalam suatu bentuk hidup semi-eremitik, sehingga dari satu pihak memang ada kesunyian besar, namun dari pihak lain kehadiran seorang saudara di dekatnya merupakan suatu bantuan besar pula dalam perjalanan rohaninya.
Mereka yang tampaknya menjauhkan diri dari saudara-saudaranya itu, sesungguhnya semakin bersatu dengan mereka secara misterius. Roh yang telah memurnikan umat Israel di Padang Gurun, dewasa ini pun memurnikan dan membentuk beberapa di antara anggota Gereja dalam kesunyian padang gurun untuk kebaikan seluruh Tubuh.

3.         Hidup di Padang Gurun
Hilangnya kehadiran manusiawi, menjadikan orang lebih terbuka bagi kehadiran yang tak kelihatan. Roh Kudus yang membawa mereka ke Padang Gurun, memberikan pula kepada mereka suatu intuisi baru dari kehadiran-kehadiran tersebut: kehadiran Allah, para malaikat, dan para kudus.
Sedikit demi sedikit padang gurun yang semula tampaknya kosong itu, ternyata lebih padat penduduknya daripada kota-kota. Para pertapa yang telah meninggalkan hidup bersama dalam komunitas, ternyata telah menemukan suatu komunitas baru, yang tidak kalah nyatanya, tidak kalah indahnya dari yang pertama. Memang komunitas itu bersifat lebih misterius, lebih terselubung daripada yang pertama. Komunitas itu, seolah-olah menembusi suatu tirai, seolah-olah menerobos dalam suatu awan, mewartakan realitas komunitas surgawi yang akan kita kenal nanti di surga.
 Oleh karena itu seseorang bertapa bukanlah untuk berpusat pada diri sendiri, melainkan untuk senantiasa hidup dalam persatuan dengan komunitas tersembunyi itu. Ia harus bebas jiwa dan rohnya, supaya dapat selalu bergaul dengan masyarakat surgawi itu. Sesuai dengan teladan nabi Elia ia telah keluar dari diri sendiri dan dari umat-nya untuk berjumpa dengan Allah yang hidup dalam kesunyian dan keheningan itu, dalam hembusan angin lembut Roh Allah sendiri.
Keheningan, tidak adanya distraksi mempermudah keterbukaan bagi sabda batin, mempermudah konsentrasi serta kontinuitas dialog ilahi. Dalam kesunyian itu semua data-data iman, arah tujuan hidup manusia menjadi semakin jelas dan gamblang. Dalam ketersembunyiannya itu seorang pertapa bersimpuh di hadapan Allah Bapanya, sambil membawa beban seluruh umat manusia dan membawakan persembahan silih bagi keselamatan mereka. Dengan demikian secara misterius ia ditempatkan kembali dalam dunia yang telah ditinggalkannya itu, untuk mengambil bagian dalam hidupnya secara baru.
 Hal itu dilakukannya atas nama seluruh Gereja, atas nama para saudaranyalah bahwa ia kini mendaki Gunung Allah. Demikian itulah yang dilakukan Yesus ketika ia mendaki gunung untuk berdoa dalam kesunyian kepada Bapa-Nya, demikian itulah yang dilakukan para pertapa di Gunung Karmel dahulu. Demikian itu pula yang menjadi cita-cita para pertapa Karmelit dewasa ini, seperti yang hidup di antara para suster Putri Karmel dan frater CSE.
Supaya hidup dalam kesunyian itu sungguh-sungguh dapat terbuka kepada Allah dan kemudian juga kepada dunia, dituntut suatu penyangkalan diri serta kelepasan lebih besar dari barang-barang yang bisa memberikan suatu kompensasi afektif yang bersifat manusiawi semata-mata, masing-masing sesuai dengan kasih karunia yang diterimanya.
Yesus telah hidup di Padang Gurun dalam puasa dan pantang. Karenanya Iblis dapat berkata kepada-Nya, supaya menyuruh batu-batu itu menjadi roti. Sesuai dengan teladan-Nya, para bapa pertapa dahulu memilih kekerasan hidup di Padang Gurun, kekerasan yang disebabkan oleh tidak adanya perlindungan dan hiburan manusiawi apa pun juga.
Namun Padang Gurun yang demikian itu juga dapat menjadi indah, karena dapat menyatakan kehadiran Allah serta kebesaran-Nya. Namun, betapa pun menariknya Padang Gurun itu, ia lebih membawakan kematian bagi panca indera daripada memuaskannya. Akan tetapi, bila segala sesuatu telah mati dalam diri manusia lama itu, maka Padang Gurun itu pun akan mulai memancarkan cahaya ilahi secara lebih cemerlang dalam kemesraan doa.

4.     Perjuangan di Padang Gurun
Padang Gurun bukan hanya tempat untuk perjumpaan dengan Allah, dengan para malaikat dan para kudus, namun juga tempat perjumpaan yang dahsyat dengan setan. Yesus dibawa Roh ke Padang Gurun untuk dicobai Iblis. Sepanjang sejarah rupanya Tuhan ingin mengikutsertakan beberapa di antara para murid-Nya untuk ikut ambil bagian dalam perjuangan rohani ini secara khusus. Dari perjuangan mereka itu tergantung pula daya tahan banyak orang dalam tubuh Gereja. Karena itu Gereja sepanjang masa selalu memberikan tempat khusus bagi hidup pertapaan, bahkan dewasa ini Gereja juga secara eksplisit memberikan tempat pula bagi kehidupan para eremit dalam tubuhnya, bahkan dalam hukum Gereja sendiri (Kitab Hukum Kanonik, art 603).
Bila seseorang memasuki Padang Gurun, ia harus siap untuk menghadapi pencobaan lebih berat daripada di tempat lain. Roh jahat merupakan bagian dari dunia tak tampak yang dimasuki para pertapa itu. Dengan sabar ia menantikan saat-saat penyesalan atau kelengahan si pertapa dan kodrat yang kehilangan kepuasannya karena suatu cara hidup yang lebih keras. Bukankah ia menunggu sampai Tuhan merasa lapar untuk mencobai Dia?
Setan dapat mendekati seseorang untuk mengajaknya melakukan mati raga keras yang berlebihan, yang tidak akan dapat dipertahankannya. Atau sebaliknya, ia dapat menggodanya untuk mengurangi kekerasan tapa itu serta sedikit demi sedikit meninggalkan penyangkalan diri, yang justru memberikan otot dan kekuatan kepada hidupnya itu.
Manusia selalu digoda untuk kembali kepada suatu cara hidup yang lebih mudah. Mencari kepuasan tertentu, kenikmatan tertentu perlahan-lahan tidak disingkirkan lagi. Setan akan meyakinkan dia, bahwa hal itu tidak apa-apa dan dapat dipertanggungjawabkan. Ia membantu membuka jalan ke arah itu. Karena perintahnya, batu-batu di Padang Gurun berubah menjadi roti, pondok si pertapa perlahan-lahan berubah menjadi rumah mewah di mana ia dapat tinggal dengan senang hati.
Doa menjadi lebih sulit dan setan berusaha menghalangi atau mengganggunya. Ia memanfaatkan sebaik-baiknya pelanturan-pelanturannya, kenangan-kenangan masa lampaunya, kemalasan dasarnya, atau kekhawatiran untuk mencari nafkah.
Dengan pelbagai macam alasan ia digoda untuk meninggalkan doa. Dengan meninggalkan doa, walaupun hanya sebagian saja, hidup bertapa sedikit demi sedikit akan kehilangan isinya, seperti sebuah bak berisi air yang dibiarkan bocor, walaupun bocornya hanya kecil saja, lama kelamaan akan menjadi kering. Tak seorang pun akan dapat mempertahankan cara hidupnya, bila ia kehilangan tujuan hidupnya itu, lebih-lebih seorang pertapa. Ia akan jatuh dalam kesuaman, lalu mencari kompensasi-kompensasi lain atau mencari kesibukan lain yang tampaknya lebih berguna.
Kemudian setan akan mengajaknya untuk menelusuri dalam khayalan serta keinginannya, kerajaan dunia, baik dunia keluarga atau lainnya, yang menurut pendapatnya sebenarnya akan dapat dimilikinya seandainya ia tidak terikat pada cara hidupnya itu. Dilihat dari jauh, khususnya bila ia telah kehilangan hal itu, semuanya itu tampak lebih indah dan lebih menarik.
Orang lain lagi digoda dalam hal doa itu sendiri. Ia dapat memberikan khayalan dan pengalaman-pengalaman palsu. Pendek kata ia akan berusaha untuk membangkitkan kembali segala bentuk cinta diri, kesia-siaan, kesombongan, mengobarkan kembali hawa nafsu yang menjadi kelemahannya. Ia mengocaknya supaya semuanya itu menjadi aktif kembali dan kadang-kadang dia juga ikut ambil bagian secara aktif. Godaan itu seringkali begitu halusnya, sehingga kerapkali sukar membedakan, mana yang datang dari kodrat kita yang terluka dan mana yang dari si jahat itu.
 Dalam perjuangan melawan roh-roh jahat ini yang memanfaatkan kelemahan-kelemahan darah dan daging, si pertapa justru harus mencari pertolongan dalam doa dan maju terus dalam jalan si kecil dan orang yang rendah hati, sebab di situlah terdapat keselamatannya. Ia harus selalu berusaha hidup dalam hadirat Tuhan, memenuhi ingatan dan pikirannya dengan Nama Yesus serta mengarahkan seluruh kerinduan, kehendak, dan hatinya kepada Allah melulu. Ia juga harus senantiasa membuka hatinya kepada pembimbing rohaninya, serta memaparkan segala pikirannya, godaan-godaan, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.