Misteri
Keheningan dan Kesunyian
“Oleh
Sebab itu sesungguhnya, Aku ini akan membujuk dia, dan membawa dia ke padang
gurun, dan berbicara penuh cinta kepadanya” (Hos. 2:13)
1. Misteri
Keheningan
Komunitas
para pertapa hidup dalam keheningan dan menimba kekuatannya dalam keheningan
tersebut. Juga di situ ia menemukan perkembangannya yang utuh. Keheningan
merupakan salah satu unsur kesunyian dari suatu hidup yang tersembunyi dalam
Allah yang semuanya merupakan unsur-unsur hidup bertapa. Ini tidak hanya urusan
pribadi, melainkan suatu karya bersama yang akan mempunyai dampak terhadap
hidup doa pertapaan serta pengaruhnya dalam Gereja. Suatu pertapaan yang
kehilangan semangat doanya, ibarat sebuah tungku perapian yang telah padam.
Karenanya Putri Karmel dan CSE dipanggil Tuhan, agar rumah pertapaan mereka
benar-benar menjadi tempat yang hening di-mana orang lebih mudah memusatkan
perhatian dan mendengarkan suara Tuhan.
Keheningan
yang dimaksud di sini tidak sama dengan tidak adanya kebisingan dan suara
obrolan kosong. Keheningan sejati merupakan suatu kehadiran pada Allah, suatu
cara berada dan tetap tinggal dalam doa. Ini merupakan suatu sikap menanti
seorang murid yang berdiam diri untuk dapat mendengarkan suara Sang Guru, yang
akan terdengar dengan lebik baik dalam lubuk keheningan.
Allah
hadir dalam keheningan. Ia adalah Dia yang berdiam diri, yang berada jauh
mengatasi segala kata, dan yang tidak dapat diungkapkan oleh kata mana pun
juga. Karenanya kita tidak dapat memasuki persekutuan dengan Dia jika kita
tidak meninggalkan segala sesuatu yang dangkal, jika kita tidak menerobos masuk
ke dalam daerah hening yang dalam ini, di mana Tuhan sedang menantikan kita.
Supaya
bisa mencapai lubuk keheningan ini, kita harus menjaga keheningan bibir kita,
tetapi lebih-lebih lagi keheningan ingatan, imajinasi, rencana-rencana,
keinginan-keinginan serta segala bentuk hawa nafsu. Apa gunanya menutup mulut,
bila hati tetap menjadi tempat lalu lalang, tempat keributan, tempat berkhayal,
menjadi jalan di mana benih yang jatuh segera terinjak-injak orang. Hanya
keheningan saja yang dapat menciptakan tanah yang gembur dan subur, di mana
benih dapat tumbuh dengan baik.
Bila
kemudian sabda Allah memperdengarkan diri dalam hati yang telah siap secara
demikian itu, keheningan menjadi ungkapan sikap keterbukaan, peresapan sabda
serta sembah sujud. Maka sabda Allah disimpan dalam lubuk keheningan yang
terdalam, kecuali jika rahmat yang diterimanya tidak membuatnya meluap dalam
sukacita dan pujian. Hidup bertapa secara hakiki merupakan suatu sikap
keheningan dan penyembahan tersembunyi yang memancarkan pujian.
Karena
orang hidup dalam hadirat Allah, dalam kerinduan akan sabda-Nya, karena orang
telah tertangkap oleh Dia, maka secara spontan orang memelihara silentium atau
keheningan di antara mereka. Meskipun anggota pertapaan itu banyak jumlahnya
keheningan memungkinkan orang untuk masuk ke dalam dirinya sendiri untuk berdoa
kepada Allah dalam ketersembunyian. Keheningan juga memungkinkan orang hidup
sunyi di tengah-tengah para saudara. Dalam arti tertentu keheningan memisahkan
orang yang satu dengan yang lain. Hal itu mewajibkan orang untuk melepaskan
diri dari afeksi-afeksi kodrati yang menjadi penghalang, kehadiran yang
menjadikannya kurang terbuka untuk mendengarkan suara Roh yang ada dalam
dirinya.
Akan
tetapi, harus segera dikatakan pula bahwa keheningan justru mempersatukan para
saudara, karena hal itu memungkinkan mereka saling mencintai dengan cara yang
lebih mendalam dan lebih tulus, serta lebih murni pula. Keheningan merupakan
tempat tersembunyi, di mana mereka semua berkumpul di hadapan Allah dan di mana
mereka dalam Dia melihat kehadiran seluruh ciptaan. Jadi keheningan itu tidak
hanya menjadikan orang hadir pada Allah, tetapi juga hadir pada semua saudara
yang berjalan di hadapan-Nya. Karena itu keheningan merupakan sikap
mendengarkan dunia, sikap terbuka, dan penerimaan.
Suasana
hening ini merupakan sesuatu yang hakiki untuk hidup bertapa dan kontemplatif,
sehingga para suster Putri Karmel dan para frater CSE berusaha sungguh-sungguh
untuk mempertahankannya dalam hidup mereka. Karena itu pula mereka memilih
tempat-tempat yang sunyi sebagai tempat untuk pertapaan mereka.
Akan
tetapi mereka merasa pula, bahwa dewasa ini banyak orang lain yang juga
merindukan perjumpaan dengan Tuhan di tempat sunyi, namun sering sukar
menemukan tempat seperti itu. Karenanya Putri Karmel dan CSE juga mau
menjadikan rumah mereka oasis-oasis bagi manusia moderen yang kehausan serta
mencari Allah, baik rohaniwan, rohaniwati, maupun awam. Mereka tidak hanya mau
menyediakan tempat, tetapi mereka juga siap melayani serta membimbing orang
dalam lorong-lorong doa yang telah mereka jalani sendiri menuju ke perjumpaan
mesra dengan Allah yang hidup.
2. Daya
tarik kesunyian
Bagi
orang yang hatinya telah tersentuh oleh cinta Allah keheningan saja dirasakan
belum cukup. Mereka masih merindukan kesunyian untuk dapat berada sendirian
dengan Sang Kekasih ilahi yang telah mempesona jiwanya. Maka tidaklah
mengherankan, seperti yang sudah kita lihat pula, bahwa sejak semula dan hingga
hari ini, masih banyak orang yang merasa ditarik oleh Roh sendiri ke dalam
kesunyian yang semakin besar, supaya secara total dapat hidup melulu bagi Dia
yang dirindukan jiwanya. Unsur kesunyian ini merupakan suatu unsur hakiki pula
dalam kehidupan para pertapa Karmel dahulu. Ungkapan-ungkapan indah tentang
arti keheningan dapat kita jumpai dalam tulisan Nikolas dari Perancis, salah
seorang jenderal Karmel yang pernah tinggal dalam kesunyian Gunung Karmel dan
yang dalam kesunyian itu sendiri mengalami rahasia cinta Allah yang mendalam.
Ungkapan itu kita jumpai dalam suratnya yang berjudul "Panah Berapi",
yang kami kutip di bawah ini:
"Bukankah Tuhan Penyelamat kita telah memberikan rahmat
khusus kepada kita dengan membawa kita ke dalam kesunyian, di mana Ia berbicara
secara mesra kepada hati kita? Padahal Ia tidak menyatakan diri kepada
sahabat-sahabat-Nya di muka umum, di jalan-jalan dan dalam kebisingan, tetapi
dalam keintiman, melalui rahmat suka-cita rohani, serta untuk menyatakan kepada
mereka misteri-misteri-Nya yang tersembunyi."
"Bukankah Roh Kudus, yang tahu apa yang dibutuhkan
masing-masing telah mengilhami Regula kita, yang menentukan, supaya
masing-masing memiliki pondok yang terpisah? Bukan pondok yang berdampingan,
melainkan pondok-pondok yang terpisah yang satu dari yang lain, supaya Sang
Mempelai Surgawi bersama dengan mempelai-Nya, yaitu jiwa yang kontemplatif,
dapat berbicara penuh damai dan kemesraan?"
"Kita telah bersukacita boleh menerima dalam pondok
kita, bimbingan penuh cahaya dari Roh Kudus. Suatu harta tak ternilai telah
dinyatakan kepada kita dalam pesona kontemplasi sedemikian rupa, sehingga jiwa
kita, setelah dilepaskan dari perkara-perkara duniawi yang fana, menyerahkan
diri seutuhnya kepada kobaran dorongan kontemplatif tersebut."
"Bagaimana kita dapat berbicara secara layak tentang
pondok-pondok kita? Saya kehabisan kata-kata untuk melambungkan pujian baginya:
saya tidak melihat lagi batas-batas antara pondok itu dan surga. Bukankah mudah
sekali orang pergi dari yang satu kepada yang lain?"
Memang,
Padang Gurun, lambang kesunyian, merupakan tempat yang membahagiakan bagi orang
yang terpanggil. Di dalam kesunyian itulah Tuhan telah menyatakan diri kepada
banyak sahabat-Nya, karena kesunyian memang sangat cocok dan istimewa untuk
perjumpaan ilahi. Dalam kesunyian itulah Tuhan telah menyatakan diri dalam
seluruh kuasa dan kemuliaan-Nya.
Dalam
kesunyian Gunung Sinai Allah menyatakan diri kepada Musa. Di situ pula Ia
mengadakan perjanjian dengan umat-Nya. Selama 40 tahun ia membentuk mereka itu
dalam kesunyian sambil berjalan bersama mereka dalam tiang awan dan api,
memberi makan mereka dengan manna surgawi serta memberi minum dari batu karang.
Dalam
kesunyian dan keheningan Gunung Horeblah Allah menyatakan kehadiran-Nya yang
mesra kepada Nabi Elia serta berbicara secara mesra dengan dia. Dalam kesunyian
Padang Gurunlah Santo Yohanes Pembaptis menerima misi dan mempersiapkan
kedatangan Tuhan Yesus. Ke dalam kesunyian Padang Gurun pula Roh Kudus membawa
Yesus setelah pembaptisan di sungai Yordan, untuk menerima dari Bapa-Nya tugas
pewartaan-Nya. Dan ke situ pula Ia sering kembali semasa karya pewartaan-Nya.
Di dalam kesunyian Gunung Tabor pulalah Ia telah menyatakan diri dalam segala
kemuliaan-Nya kepada tiga orang murid-Nya.
Dalam
masa-masa sesudah Pentakosta, Allah tiada henti-hentinya menyatakan diri di
Padang Gurun. Demikian pula Roh Kudus tiada henti-hentinya membawa para murid
Yesus ke Padang Gurun yang terberkati itu.
Beberapa
orang di antara mereka datang ke situ untuk waktu tertentu saja demi
memperdalam imannya, memperdalam hubungannya dengan Allah, untuk mempersiapkan
diri bagi suatu tugas kerasulan tertentu, atau suatu tanggung jawab tertentu
dalam Gereja. Dalam menjalankan tugasnya selanjutnya, mereka itu sewaktu-waktu
merasa perlu untuk kembali lagi ke dalam kesunyian untuk menimba kekuatan baru.
Yesus sendiri juga seringkali kembali ke situ, dan seringkali bahkan tinggal
semalam suntuk di situ untuk berdoa kepada Bapa. Seorang murid tidak lebih
besar dari Gurunya.
Akan
tetapi, ada murid-murid Tuhan yang lain yang dipanggil untuk tinggal selama
hidupnya dalam Padang Gurun itu sambil menantikan kedatangan-Nya kembali.
Jumlah mereka itu banyak sekali dalam abad-abad pertama dan sepanjang sejarah
Gereja mereka tidak pernah absen. Juga pada zaman kita ini Roh masih tetap
menarik orang-orang tertentu ke dalam kesunyian Padang Gurun.
Demikian
pula kesunyian Karmel sampai dewasa ini tetap mempunyai daya tariknya sendiri,
dan menggetarkan hati mereka yang mendengarkan panggilan Roh. Bahkan dewasa ini
pun dibuka kemungkinan untuk kesunyian total sebagai eremit bagi mereka yang
sungguh-sungguh terpanggil. Mereka itu tidak lagi hidup bersama dengan saudara
yang lain, melainkan seorang diri dalam kesunyian total. Namun itu merupakan
suatu panggilan yang sungguh-sungguh amat khusus, yang membutuhkan kematangan
insani dan rohani yang besar supaya dapat menghasilkan buah yang melimpah.
Kalau tidak, ia malahan akan gagal. Bagi kebanyakan orang, kesunyian itu masih
dihayatinya bersama saudara-saudari yang lain dalam suatu bentuk hidup
semi-eremitik, sehingga dari satu pihak memang ada kesunyian besar, namun dari
pihak lain kehadiran seorang saudara di dekatnya merupakan suatu bantuan besar
pula dalam perjalanan rohaninya.
Mereka
yang tampaknya menjauhkan diri dari saudara-saudaranya itu, sesungguhnya
semakin bersatu dengan mereka secara misterius. Roh yang telah memurnikan umat
Israel di Padang Gurun, dewasa ini pun memurnikan dan membentuk beberapa di
antara anggota Gereja dalam kesunyian padang gurun untuk kebaikan seluruh
Tubuh.
3.
Hidup
di Padang Gurun
Hilangnya
kehadiran manusiawi, menjadikan orang lebih terbuka bagi kehadiran yang tak
kelihatan. Roh Kudus yang membawa mereka ke Padang Gurun, memberikan pula
kepada mereka suatu intuisi baru dari kehadiran-kehadiran tersebut: kehadiran
Allah, para malaikat, dan para kudus.
Sedikit
demi sedikit padang gurun yang semula tampaknya kosong itu, ternyata lebih
padat penduduknya daripada kota-kota. Para pertapa yang telah meninggalkan
hidup bersama dalam komunitas, ternyata telah menemukan suatu komunitas baru,
yang tidak kalah nyatanya, tidak kalah indahnya dari yang pertama. Memang
komunitas itu bersifat lebih misterius, lebih terselubung daripada yang
pertama. Komunitas itu, seolah-olah menembusi suatu tirai, seolah-olah
menerobos dalam suatu awan, mewartakan realitas komunitas surgawi yang akan
kita kenal nanti di surga.
Oleh
karena itu seseorang bertapa bukanlah untuk berpusat pada diri sendiri,
melainkan untuk senantiasa hidup dalam persatuan dengan komunitas tersembunyi
itu. Ia harus bebas jiwa dan rohnya, supaya dapat selalu bergaul dengan
masyarakat surgawi itu. Sesuai dengan teladan nabi Elia ia telah keluar dari
diri sendiri dan dari umat-nya untuk berjumpa dengan Allah yang hidup dalam
kesunyian dan keheningan itu, dalam hembusan angin lembut Roh Allah sendiri.
Keheningan,
tidak adanya distraksi mempermudah keterbukaan bagi sabda batin, mempermudah
konsentrasi serta kontinuitas dialog ilahi. Dalam kesunyian itu semua data-data
iman, arah tujuan hidup manusia menjadi semakin jelas dan gamblang. Dalam
ketersembunyiannya itu seorang pertapa bersimpuh di hadapan Allah Bapanya,
sambil membawa beban seluruh umat manusia dan membawakan persembahan silih bagi
keselamatan mereka. Dengan demikian secara misterius ia ditempatkan kembali
dalam dunia yang telah ditinggalkannya itu, untuk mengambil bagian dalam
hidupnya secara baru.
Hal
itu dilakukannya atas nama seluruh Gereja, atas nama para saudaranyalah bahwa
ia kini mendaki Gunung Allah. Demikian itulah yang dilakukan Yesus ketika ia
mendaki gunung untuk berdoa dalam kesunyian kepada Bapa-Nya, demikian itulah
yang dilakukan para pertapa di Gunung Karmel dahulu. Demikian itu pula yang
menjadi cita-cita para pertapa Karmelit dewasa ini, seperti yang hidup di
antara para suster Putri Karmel dan frater CSE.
Supaya
hidup dalam kesunyian itu sungguh-sungguh dapat terbuka kepada Allah dan
kemudian juga kepada dunia, dituntut suatu penyangkalan diri serta kelepasan
lebih besar dari barang-barang yang bisa memberikan suatu kompensasi afektif
yang bersifat manusiawi semata-mata, masing-masing sesuai dengan kasih karunia
yang diterimanya.
Yesus
telah hidup di Padang Gurun dalam puasa dan pantang. Karenanya Iblis dapat
berkata kepada-Nya, supaya menyuruh batu-batu itu menjadi roti. Sesuai dengan
teladan-Nya, para bapa pertapa dahulu memilih kekerasan hidup di Padang Gurun,
kekerasan yang disebabkan oleh tidak adanya perlindungan dan hiburan manusiawi
apa pun juga.
Namun
Padang Gurun yang demikian itu juga dapat menjadi indah, karena dapat
menyatakan kehadiran Allah serta kebesaran-Nya. Namun, betapa pun menariknya
Padang Gurun itu, ia lebih membawakan kematian bagi panca indera daripada
memuaskannya. Akan tetapi, bila segala sesuatu telah mati dalam diri manusia
lama itu, maka Padang Gurun itu pun akan mulai memancarkan cahaya ilahi secara
lebih cemerlang dalam kemesraan doa.
4. Perjuangan
di Padang Gurun
Padang
Gurun bukan hanya tempat untuk perjumpaan dengan Allah, dengan para malaikat
dan para kudus, namun juga tempat perjumpaan yang dahsyat dengan setan. Yesus
dibawa Roh ke Padang Gurun untuk dicobai Iblis. Sepanjang sejarah rupanya Tuhan
ingin mengikutsertakan beberapa di antara para murid-Nya untuk ikut ambil
bagian dalam perjuangan rohani ini secara khusus. Dari perjuangan mereka itu
tergantung pula daya tahan banyak orang dalam tubuh Gereja. Karena itu Gereja
sepanjang masa selalu memberikan tempat khusus bagi hidup pertapaan, bahkan
dewasa ini Gereja juga secara eksplisit memberikan tempat pula bagi kehidupan
para eremit dalam tubuhnya, bahkan dalam hukum Gereja sendiri (Kitab Hukum
Kanonik, art 603).
Bila
seseorang memasuki Padang Gurun, ia harus siap untuk menghadapi pencobaan lebih
berat daripada di tempat lain. Roh jahat merupakan bagian dari dunia tak tampak
yang dimasuki para pertapa itu. Dengan sabar ia menantikan saat-saat penyesalan
atau kelengahan si pertapa dan kodrat yang kehilangan kepuasannya karena suatu
cara hidup yang lebih keras. Bukankah ia menunggu sampai Tuhan merasa lapar
untuk mencobai Dia?
Setan
dapat mendekati seseorang untuk mengajaknya melakukan mati raga keras yang
berlebihan, yang tidak akan dapat dipertahankannya. Atau sebaliknya, ia dapat
menggodanya untuk mengurangi kekerasan tapa itu serta sedikit demi sedikit
meninggalkan penyangkalan diri, yang justru memberikan otot dan kekuatan kepada
hidupnya itu.
Manusia
selalu digoda untuk kembali kepada suatu cara hidup yang lebih mudah. Mencari
kepuasan tertentu, kenikmatan tertentu perlahan-lahan tidak disingkirkan lagi.
Setan akan meyakinkan dia, bahwa hal itu tidak apa-apa dan dapat
dipertanggungjawabkan. Ia membantu membuka jalan ke arah itu. Karena perintahnya,
batu-batu di Padang Gurun berubah menjadi roti, pondok si pertapa
perlahan-lahan berubah menjadi rumah mewah di mana ia dapat tinggal dengan
senang hati.
Doa
menjadi lebih sulit dan setan berusaha menghalangi atau mengganggunya. Ia
memanfaatkan sebaik-baiknya pelanturan-pelanturannya, kenangan-kenangan masa
lampaunya, kemalasan dasarnya, atau kekhawatiran untuk mencari nafkah.
Dengan
pelbagai macam alasan ia digoda untuk meninggalkan doa. Dengan meninggalkan
doa, walaupun hanya sebagian saja, hidup bertapa sedikit demi sedikit akan
kehilangan isinya, seperti sebuah bak berisi air yang dibiarkan bocor, walaupun
bocornya hanya kecil saja, lama kelamaan akan menjadi kering. Tak seorang pun
akan dapat mempertahankan cara hidupnya, bila ia kehilangan tujuan hidupnya
itu, lebih-lebih seorang pertapa. Ia akan jatuh dalam kesuaman, lalu mencari
kompensasi-kompensasi lain atau mencari kesibukan lain yang tampaknya lebih
berguna.
Kemudian
setan akan mengajaknya untuk menelusuri dalam khayalan serta keinginannya,
kerajaan dunia, baik dunia keluarga atau lainnya, yang menurut pendapatnya
sebenarnya akan dapat dimilikinya seandainya ia tidak terikat pada cara
hidupnya itu. Dilihat dari jauh, khususnya bila ia telah kehilangan hal itu,
semuanya itu tampak lebih indah dan lebih menarik.
Orang
lain lagi digoda dalam hal doa itu sendiri. Ia dapat memberikan khayalan dan
pengalaman-pengalaman palsu. Pendek kata ia akan berusaha untuk membangkitkan
kembali segala bentuk cinta diri, kesia-siaan, kesombongan, mengobarkan kembali
hawa nafsu yang menjadi kelemahannya. Ia mengocaknya supaya semuanya itu
menjadi aktif kembali dan kadang-kadang dia juga ikut ambil bagian secara
aktif. Godaan itu seringkali begitu halusnya, sehingga kerapkali sukar
membedakan, mana yang datang dari kodrat kita yang terluka dan mana yang dari
si jahat itu.
Dalam
perjuangan melawan roh-roh jahat ini yang memanfaatkan kelemahan-kelemahan
darah dan daging, si pertapa justru harus mencari pertolongan dalam doa dan
maju terus dalam jalan si kecil dan orang yang rendah hati, sebab di situlah
terdapat keselamatannya. Ia harus selalu berusaha hidup dalam hadirat Tuhan,
memenuhi ingatan dan pikirannya dengan Nama Yesus serta mengarahkan seluruh kerinduan,
kehendak, dan hatinya kepada Allah melulu. Ia juga harus senantiasa membuka
hatinya kepada pembimbing rohaninya, serta memaparkan segala pikirannya,
godaan-godaan, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.